Rabu, 20 Februari 2013

KURSUS INTENSIF HUKUM PERBURUHAN ANGKATAN 2

 

Harus diakui bahwa pemahaman para pelaku hubungan industrial terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya masih sangat kurang. Kondisi ini disebabkan karena minimnya sosialisasi dan kurangnya kesadaran untuk memahami dari para pelaku hubungan industrial tersebut baik itu pengusaha maupun pekerja/buruh. Akibatnya peraturan yang ada di perusahaan terkadang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan.

Kursus Intensif Hukum Perburuhan Angkatan II (KIH--Perburuhan II) diselenggarakan dengan tujuan menjadi salah satu media para perlaku usaha baik pengusaha maupun pekerja/buruh untuk memahami konsep hubungan industrial sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mengikuti KIH-Perburuhan diharapkan peserta dapat menjalankan kewajibannya dalam pekerjaan sehari-hari dengan tidak menimbulkan potensi terjadinya sengketa hubungan industrial yang dapat mengganggu produktifitas perusahaan.


MATERI KURSUS

  • Pengantar Hukum Perburuhan
  • Kewajiban Pengusaha dalam Konteks Perburuhan Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  • Jenis-jenis Perjanjian Kerja
  • Outsourcing (Alih Daya)
  • Sengketa Hubungan Industrial
  • Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial
  • Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan (PP)
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  • Pengaturan tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
  • Inspeksi Perburuhan
  • Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

 

INVESTASI

Rp 5.000.000,- / Orang
Sebelum tanggal 26 Februari 2013

Rp 5.500.000,- / Orang
Setelah tanggal 26 Februari 2013

 

INFORMASI DAN REGISTRASI

Office Line
021 5290 1485
Yazid
021 5133 1956
Adit
0857 1603 3921
Linda
0813 1981 2190

 

ONLINE REGISTRATION

WWW.EMLITRAINING.COM

Selasa, 19 Februari 2013

Pertumbuhan Listrik Nasional Meningkat 10,1%

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai pertumbuhan kelistrikan nasional Indonesia tiap tahunnya meningkat diperkirakan sekira rata-rata 10,1 per tahun. Dengan rincian 8,6 persen untuk Jawa-Bali dan 13,5 persen untuk luar Jawa-Bali.

Sementara kebutuhan energi listrik Nasional pada 2012 sekira 171 terawatt hour (TWh), dan diperkirakan meningkat menjadi sekira 1.075 TWh pada 2031, sehingga kebutuhan tambahan daya nasional sekira 237.020 MW hingga 2031.

Serta elastisitas atau rasio antara pertumbuhan kebutuhan energi listrik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sekira 1,3 dengan rincian 1,1 persen untuk Jawa-Bali dan 1,7 untuk luar Jawa-Bali.

Terkait dengan kondisi tersebut, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan pasokan energi listrik nasional ke depan hanya bisa diamankan dengan pengembangan listrik dari energi baru terbarukan.

"Salah satu ambisi saya ada adalah energi baru terbarukan, inilah yang bisa menyelamatkan bangsa di masa depan dibidang energi," ujar Jero, seperti dilansir dari situs resmi Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (20/2/2013).

Jero menjelaskan, pasokan listrik yang sudah dinikmati rakyat Indonesia baru 48 ribu megawatt (MW). "Kita kejar terus setiap tahun bisa tumbuh 5.000 mw, supaya cepat berkurang defisitnya," jelasnya.

Jero menjelaskan, sektor energi baru terbarukan memiliki persediaan energi yang dapat dimanfaatkan menjadi listrik di antaranya yaitu energi panas bumi memiliki potensi 30 ribu mw, kemudian energi air yaitu 75 ribu mw, energi matahari dan biomassa sekira 35 ribu mw.

"Kalau tiga ini saja kita kerjakan dengan masif rasanya sampai dua generasi mendatang aman ini," pungkas Jero.

Seperti diketahui, sepanjang 2012 lalu, capaian yang telah berhasil diperoleh sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi yaitu pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan sebesar 304,68 mw yang berasal dari panas bumi (115 mw), mikrohidro (163,68 mw), tenaga surya (5 mw, sebesar 3 mw tersambung dengan jaringan PLN (on grid), dan bioenergi (21 MW).

Guna mendorong pengusahaan listrik on-grid dari energi baru dan energi terbarukan, telah diterbitkan Permen ESDM Nomor 22/2012 tanggal 16 Agustus 2012 yang mengatur tentang harga jual listrik (feed-in tariff) Panas Bumi (US$10–US$18,5 sen per kWh), dan Permen ESDM No. 4/2012 tanggal 31 Januari 2012 yang mengatur tentang Harga Jual Listrik (feed-in tariff) Biogas, Biomassa dan Sampah Kota (850–1.050 Rp per kWh).

Sedang difinalisasi Permen ESDM yang mengatur tentang Harga Jual Listrik (feed-in tariff) tenaga surya (USD25-USD30 sen per kWh) dan revisi FiT Sampah Kota (Rp1.250–Rp1.450 per kWh), telah dilakukan konsultasi publik dan pembahasan dengan PLN.

 

Sumber : www.emliindonesia.com

KURSUS INTENSIF HUKUM PERTAMBANGAN ANGKATAN X

 

Energy & Mining Law Institute (EMLI) adalah lembaga riset yang fokus pada permasalahan hukum energi dan pertambangan di Indonesia. EMLI telah melakukan berbagai macam riset terkait dengan pelaksanaan hukum energi dan pertambangan di Indonesia. Selain sebagai lembaga riset, EMLI juga merupakan lembaga penyelenggara pendidikan di bidang hukum energi dan pertambangan dimana hal tersebut merupakan salah satu respon dari permintaan para pelaku usaha yang membutuhkan pemahaman akan hukum energi dan pertambangan di Indonesia secara komprehensif.

Salah satu pendidikan yang diselenggarakan oleh EMLI adalah Kursus Intensif Hukum Pertambangan (KIHP). KIHP adalah kursus yang menyajikan materi hukum pertambangan di Indonesia secara lengkap dan mendetail dengan pembicara-pembicara yang ahli dibidangnya. Sejak berdiri pada Mei 2011 EMLI telah berhasil menyelenggarakan 9 (sembilan) kali KIHP dan telah memiliki alumni kurang lebih 400 orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda.

Program yang merupakan perpaduan antara paparan peraturan perundang-undangan (regulatory review) dan aspek praktis dari hukum yang berkaitan dengan hukum pertambangan, sehingga kombinasi yang unik ini diharapkan mampu memberikan tidak saja pengetahuan (knowledge), namun juga keterampilan (knowhow) bagi peserta ajar.


TARGET PESERTA

  • Para pengambil keputusan di perusahaan produsen tambang
  • Perusahaan trading
  • Legal staff
  • Legal manager
  • Manager operasional
  • Manager keuangan
  • Lawyer
  • Konsultan
  • Lembaga pemerintah
  • Penggiat LSM di bidang pertambangan dan lingkungan
  • Akademisi
  • Mahasiswa yang memiliki minat dan/atau rencana karir di bidang pertambangan
  • Pejabat pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota



    MATERI KURSUS

    • Pengantar Hukum Pertambangan
    • Lingkungan dan Community Development
    • Sengketa Pidana, Perdata dan TUN dalam Bisnis Pertambangan
    • Domestic Market Obligation (DMO) dan Harga Patokan Batubara (HPB)
    • Coal Shipment and Logistics
    • Kewajiban Financial Industri Tambang
    • Merger dan Akuisisi berdasarkan Undang Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
    • Pertambangan dan Kehutanan
    • Hukum Agraria dan Pertambangan
    • Legal Due Diligence (LDD) untuk Industri Pertambangan
    • Anatomi Proyek Pertambangan dan Penyusunan Kontrak di Bidang Pertambangan

     

    INVESTASI

    Rp6.000.000,- /orang
    Sampai tanggal 13 Maret 2013

    6.500.000,- /orang
    Setelah tanggal 13 Maret 2013

    Biaya sudah termasuk :
    Lunch, 2x Coffee Break, Seminar Kit, Double Sertifikat, Flashdisk.

     

    INFORMASI DAN REGISTRASI

    Office Line
    021 5290 1485
    Yazid
    021 5133 1956
    Adit
    0857 1603 3921
    Linda
    0813 1981 2190

     

    ONLINE REGISTRATION

     

    WWW.EMLITRAINING.COM

    KURSUS INTENSIF HUKUM PERBURUHAN ANGKATAN II

     

    Harus diakui bahwa pemahaman para pelaku hubungan industrial terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya masih sangat kurang. Kondisi ini disebabkan karena minimnya sosialisasi dan kurangnya kesadaran untuk memahami dari para pelaku hubungan industrial tersebut baik itu pengusaha maupun pekerja/buruh. Akibatnya peraturan yang ada di perusahaan terkadang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan.

    Kursus Intensif Hukum Perburuhan Angkatan II (KIH--Perburuhan II) diselenggarakan dengan tujuan menjadi salah satu media para perlaku usaha baik pengusaha maupun pekerja/buruh untuk memahami konsep hubungan industrial sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mengikuti KIH-Perburuhan diharapkan peserta dapat menjalankan kewajibannya dalam pekerjaan sehari-hari dengan tidak menimbulkan potensi terjadinya sengketa hubungan industrial yang dapat mengganggu produktifitas perusahaan.

    SIAPA YANG HARUS HADIR :

    • Direksi
    • HR manager
    • HR staff
    • Legal manager
    • Legal staff – Industrial Relation
    • Pengurus Serikat Pekerja
    • LSM penggiat masalah ketenaga-kerjaan



    MATERI KURSUS

    • Pengantar Hukum Perburuhan

    • Kewajiban Pengusaha dalam Konteks Perburuhan Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    • Jenis-jenis Perjanjian Kerja

    • Outsourcing (Alih Daya)

    • Sengketa Hubungan Industrial

    • Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial

    • Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan (PP)

    • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

    • Pengaturan tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing

    • Inspeksi Perburuhan

    • Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

    INVESTASI

    Rp 5.000.000,- / Orang
    Sebelum tanggal 26 Februari 2013

    Rp 5.500.000,- / Orang
    Setelah tanggal 26 Februari 2013

     

    INFORMASI DAN REGISTRASI

    Office Line
    021 5290 1485
    Yazid
    021 5133 1956
    Adit
    0857 1603 3921
    Linda
    0813 1981 2190

     

    ONLINE REGISTRATION

     

    WWW.EMLITRAINING.COM

    Senin, 18 Februari 2013

    Workshop Legal Due Diligence & COntract Drafting pada Industri Pertambangan

    Banner Workshop Legal Due Diligence & Contract Drafting pada Industri Pertambangan

     

    Kemampuan melakukan legal due diligence dan menyusun serta me-review kontrak menjadi modal utama yang sebaiknya dimiliki oleh para lawyer maupun legal counsel pada sebuah perusahaan. Legal due diligence merupakan satu bagian penting dalam aksi korporasi yang penyelenggaraannya membutuhkan pemahaman teknis yang mendalam. Begitu juga dengan contract drafting membutuhkan keahlian dan ketelitian karena semua kegiatan transaksi perusahaan berdasar pada kontrak yang dibuat. Tujuan perusahaan tidak akan pernah tercapai jika kontrak-kontrak yang telah dibuat tidak mampu mengakomodir tuntutan komersial dari perusahaan. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian khusus untuk bisa menyusun kontrak yang merupakan penuangan dari tujuan komersial yang sudah ditentukan oleh perusahaan. Demikian juga pada perusahaan pertambangan, kedua kegiatan ini menjadi poin penting yang tidak bisa dihindari

    Workshop LDD dan Contract Drafting yang diselenggarakan EMLI Training akan memberikan pemahaman terhadap kegiatan LDD sampai dengan penyusunan laporan LDD. Selain itu, pemateri juga akan memberikan penyegaran mengenai prinsip-prinsip hukum perjanjian, meningkatkan kemampuan menyusun kontrak dan membuat strategi penyusunan kontrak yang aman dan akomodatif.


    TARGET PESERTA
    Pelatihan ini ditujukan terutama kepada para pihak yang bergerak di bidang pertambangan mineral dan batubara, terutama penyusun kontrak dan pengambil kebijakan bisnis pertambangan minerba. Meski demikian, pihak lain yang terkait pun sangat perlu mengikuti pelatihan ini. Peserta yang perlu mengikuti pelatihan ini diantaranya:

    • Pengambil Kebijakan di Perusahaan (CEO, Direktur)
    • Biro Hukum Pemerintah Daerah
    • Direksi dan manajemen perusahaan pertambangan
    • Corporate Secretary
    • Legal Counsel
    • Contract Engineer
    • Pejabat Pengadaan Barang (procurement)
    • Pelaku Usaha Pasar Modal
    • Praktisi Perbankan
    • Panitia Lelang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


    MATERI WORKSHOP

    Legal Due Diligence
    • Stages in and characteristic of mining projects
    • Roles and workflow of legal due diligence
    • Key areas for legal due diligence review
      • Corporate legal standing
      • Mining concession
      • Compliance to requirements under mining laws and regulations
      • Third party commitment
      • Assets
      • Disputes
      • Overlapping matters
    • Discussion on Documents


    Contract Drafting

    • Anatomi proyek pertambangan
    • Penyusunan perjanjian akuisisi perusahaan pertambangan
    • Langkah-langkah akuisisi pada perusahaan pertambangan
    • Persiapan sebelum penyusunan kontrak bisnis pertambangan
    • Klausul-klausul penting dalam perjanjian akuisisi perusahaan pertambangan
    • Klausula perubahan dan penambahan isi kontrak
    • Pengalihan saham vs penerbitan saham baru

     

    INVESTASI

    Rp2.300.000,-/orang
    Sampai tanggal 19 Februari 2013

    Rp2.500.000,-/orang
    Setelah tanggal 19 Februari 2013

     

    INFORMASI DAN REGISTRASI

    Office Line
    021 5290 1485
    Angger
    0888 0855 5856
    Gita
    0878 7596 4848
    Linda
    0813 1981 2190

     

    ONLINE REGISTRATION

     

    WWW.EMLITRAINING.COM

    Minggu, 17 Februari 2013

    Hiswana Migas Minta Gaikindo Dukung Program Konversi ke BBG

    JAKARTA - Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak Bumi dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi mengatakan, program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) tidak akan bisa berjalan dengan baik jika tidak didukung dengan berbagai aspek.

    Untuk itu, dia meminta Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) untuk memproduksi mobil yang menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG) guna mendukung program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke BBG.

    "Harus ada kendaraan yang mau mengikuti, kalau kita bangun infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) tapi kalau tidak ada yang mengisi sama saja, makanya kita sudah komitmen dengan Gaikindo, next year paling tidak untuk kendaraan original pabrikan sudah menggunakan BBG," ujar Eri, dalam diskusi panel bertajuk “Jurus Alternatif Penghematan Konsumsi BBM”, di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Minggu (17/2/2013).

    Eri menambahkan, dalam pelaksanaan konversi BBM ke BBG juga harus didukung oleh bengkel perawatan kendaraan. Menurut Eri, bengkel akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap program yang bertujuan untuk menekan konsumsi BBM tersebut, oleh sebab itu perlu adanya sertifikasi pada bengkel yang melayani perbaikan mobil yang ber BBG.

    "Bengkelnya harus bersertifikasi, kalau tidak nanti terjadi kecelakaan karena bengkelnya tidak jelas, merusak tatanan kepercayaan terhadap BBG," tambahnya.

    Dari sisi lain, Pemerintah juga meminta Hiswana Migas untuk membuat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dengan perbandingan lima Stasiun pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terdapat satu (SPBG), dan Hiswana sudah menyanggupi permintaan Pemerintah tersebut.

    "Komitmen pak Jero sudah jelas bahkan meminta kepada kami pengusaha Hiswana itu satu SPBG per lima SPBU, untuk lima SPBU itu, komitmen kita, jadi jangka panjang menengah dan pendek, arahnya harus jelas," pungkasnya.

     

    Sumber : www.emliindonesia.com

    Rabu, 06 Februari 2013

    PLN Dilarang Gunakan Pembangkit Listrik dari China

    JAKARTA - PT PLN (Persero) mendapat peringatan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak lagi melakukan inefisiensi dengan menggunakan pembangkit listrik yang berasal dari negeri China.

    Anggota Komisi VII DPR Effendi Simbolon menuturkan, saat ini PLN perlu melakukan klarifikasi pembangkit yang dioperasikan, juga memastikan pembangkit tersebut tidak menyewa dari China, karena perseroan sebenarnya bisa memaksimalkan proyek pembangunan tenaga listrik sendiri.

    "Ini perlu klarifikasi dan kita ingin tanyakan mengenai hal tersebut. Apakah memang benar adanya," ujar Effendi, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, di Gedung Nusantara I DPR, Jakarta, Rabu (6/2/2013).

    Dia menuturkan, yang telah terjadi pada agar tidak terulang kembali, karena inefisiensi yang dilakukan pada institusi negara pasti berpengaruh pada penerimaan negara yang akan merugikan negaranya.

    "Ini berkaitan dengan penerimaan negara. Jadi saya harap mengidentifikasi mengenai kerugian negara," tutupnya.

     

    Sumber : www.emliindonesia.com

    Selasa, 05 Februari 2013

    Pemerintah Segera Keluarkan Permen Aturan Penggunaan Gas

    JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengeluarkan aturan dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM untuk mengatur alokasi di beberapa sistem gas terapung atau Regasifikasi Floating Storage and Regasification Unit (FSRU).

    "Permen ESDM tersebut akan mulai berlaku pada tahun ini. Namun, untuk masalah harga masih harus dinegosiasikan terlebih dahulu. Pasalnya, banyak pabrik pupuk yang belum bisa menyerap alokasi gas," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM A Edy Hermantoro, di Jakarta, Selasa (5/2/2013).

    Edy menambahkan, pemerintah sudah menetapkan alokasi gas alam cair Liquidfied Natural Gas (LNG) untuk pasokan domestik dari kilang Tangguh dan Bontang.

    "LNG ini akan dipasok melalui beberapa FSRU dan pabrik pupuk yang akan berlaku mulai tahun ini," tambahnya.

    Edy menambahkan, pada dasarnya, pihaknya sudah mengusulkan alokasi gas domestik itu untuk beberapa FSRU.

    "Apabila ada kelebihan pasokan gas yang tidak terserap maka akan dialihkan ke FSRU Jawa Barat untuk kebutuhan pembangkit listrik milik PLN karena masih kekurangan pasokan gas," tandasnya.

     

    Sumber : www.emliindonesia.com

    Senin, 04 Februari 2013

    Land Battles Rise as U.S. Eyes 450,000 Miles of New Pipe

    When a power company tried to run cables over land owned by Larry Salois’s mother near Cut Bank, Montana, the native American fought the $400 million project.

    He lost when the state passed a law forcing him to sell a right-of-way. Typical of U.S. property battles sparked by the quest for energy security, Tonbridge Power Inc. said it needed the most direct path for its electric line to wind farms, even though it would run across land holding a historical icon.

    “They were going to put it right through the middle of a teepee ring,” said his attorney, Hertha Lund of Bozeman. The cluster of stones marked a foundation for ancient settlements left behind by the Plains and other Indians. They’re an irreplaceable cultural heritage to many native Americans.

    With the natural gas industry estimating that 450,000 miles (724,000 kilometers) of pipelines need to be built in the next 25 years, a distance to the moon and almost back to earth, conflicts will multiply over eminent domain, or the legal power to condemn private property.

    Land owners increasingly are pit against private businesses in state legislatures and courts as the U.S. confronts the new transmission lines, pipelines and compressor stations needed to reduce oil imports and produce clean energy at home. Lines between pro-green energy Democrats and pro-economic development Republicans can blur as farmers and ranchers object to being handed lease agreements and a pen, with little room to negotiate.

    “Eminent domain is an emotional issue,” says Lund, whose client eventually settled. “Up here, it’s caused a real crossover in politics.”


    Transmission Corridors

    A 2011 study conducted for the National Renewable Energy Laboratory estimates that 17,000 to 22,000 miles of new transmission lines, plus the corridors to accommodate them, would be required for the eastern half of the U.S. alone if the nation were to provide 20 percent of its electricity with wind power by 2030.

    In the oil and gas industry, much more land will be needed as pipelines are built to connect growing production from shale fields to refineries and markets. Just one facet of the network -- long-haul gas pipelines -- may grow by 23 percent by 2035, according to a report from the Interstate Natural Gas Association of America.

    That much pipeline may require thousands of square miles for easements and right of way. The exact amount is unclear, since builders will follow existing routes and re-use old pipelines as much as possible, Don Santa, the trade group’s president, said in an interview.


    Respecting Landowners

    “There’s a recognition on the part of the pipelines that it’s in our best interest to respect the landowners, have good relations with them,” Santa said in an interview.

    In Salois’ case, he asserted that the power line’s owner, Montana Alberta Tie Line LTD., didn’t have the right of eminent domain because it wasn’t a public utility. The company, whose owner Tonbridge was later acquired by Canada’s Enbridge Inc. (ENB), said it needed to build the 130-mile line, known as MATL, to connect Montana wind farms to the electric grid.

    After a Montana court sided with Salois, the state Legislature passed a 2011 law saying merchant power companies such as MATL had the same right to condemn land as other utilities in the state. The law was backdated to cover electric lines permitted in 2008, including MATL.


    95 Percent Negotiated

    Typically, pipeline companies negotiate 95 percent of right-of-way agreements, Santa said. About 5 percent require some type of court proceeding, in which the company invokes its eminent domain power and asks a court to set a fair price for the land it needs.

    Because eminent domain laws vary from state to state, no central clearing house tracks the number of eminent domain cases.

    Private companies have had eminent domain power since at least the 1800s. Most state and federal law allows private property to be taken for “common carriers,” meaning projects that serve the public by carrying power or providing transportation for all customers.

    The U.S. Federal Energy Regulatory Commission holds hearings to determine the routes for interstate gas pipelines. Most other eminent domain disputes, including disputed interstate oil and liquids pipelines, are handled in local courts under state law.


    Shifting Power

    States have tried to shift the balance of power in landowners’ favor after the 2005 U.S. Supreme Court decision known as Kelo v. the City of New London. The court decided 5- to-4 that the Connecticut city had a right to seize private property for a hotel, condos and offices.

    More than 40 states have enacted laws limiting or prohibiting property seizures for economic development since the Kelo decision. The states have been slower to act on the issue of using eminent domain for energy projects on private property. Since 2011, at least 13 states have drafted some form of legislation dealing with the subject, often taking different approaches, according to research from the Denver-based National Conference of State Legislatures.

    While Montana was granting MATL eminent domain rights, Wyoming, after a landowner backlash, put wind companies’ rights to seize property on hold. Oklahoma in 2011 outlawed eminent domain in developing wind farms on private property.

    The Montana senate is scheduled to hold a hearing this week on a bill that would end eminent domain for private power lines like MATL.

    Merchant power line projects aren’t “beneficial to the public good of Montana,” state senator Debby Barrett, a Republican who sponsored the bill, said in an interview.


    New Hampshire

    In March, then-Governor John Lynch signed a New Hampshire law that prohibits private power-line operators from using eminent domain, in response to Northeast Utilities (NU)’ plan to build the 180-mile Northern Pass power project connecting a Canadian hydro-power project to the New England electric grid. Northeast Utilities plans to build the line without using eminent domain, Chief Operating Officer Leon Olivier said on a conference call in May.

    Pennsylvania, which holds a good portion of the Marcellus Shale gas field, has determined that private pipelines, including the gathering lines that take shale gas from fields to larger transmission lines, can’t employ eminent domain unless they’re open to all customers, Patrick Henderson, an aide to Governor Tom Corbett, said in an e-mail.

    North Dakota, home of the Bakken Shale formation, allows gathering pipelines to be considered common carriers, although it’s unclear how many have tried to register that way, says Pat Fahn, director of compliance for the state’s Public Service Commission.


    Good Faith

    In Texas, the biggest oil-and-gas producing state, legislators in 2011 required pipeline companies and other private entities to make a good faith offer before condemning private property, and provide landowners with copies of appraisals used to determine the value of the offer.

    Lund and other lawyers say they’re seeing more eminent domain cases in court.

    “It’s increased at a level I’ve never seen in the past 10 years,” says Justin Hodge, a Houston attorney who specializes in eminent domain cases there.

    Farmers and ranchers in the Mountain West, who often oversee miles of pipelines on their property, have tried negotiating as groups to gain better terms from pipeline companies, Frank Falen, an attorney in Cheyenne, Wyoming, said. It’s more productive than trying to block the pipelines, since states usually give pipelines clear authority to take private land.

    “Because of the way the condemnation laws are in Wyoming we knew the odds of keeping the pipeline from coming were very, very small,” said Pat Wade, a Wyoming rancher who worked with Falen on the right-of-way for OneOk Inc. (OKE)’s Bakken Natural Gas Liquids pipeline.


    Direct Challenge

    Landowners have had little luck with direct challenges to eminent domain laws.

    In 2011, the Texas Supreme Court ruled that Denbury Green Pipeline, a Plano, Texas company, had overstepped the law when it used eminent domain to acquire a right-of-way for a carbon dioxide pipeline across the land of Texas Rice Land Partners in Beaumont.

    The farm’s owners argued that the pipeline, though it crossed from Texas to Louisiana and received permits from Texas regulators, wasn’t a common carrier because only Denbury would be served by it. The court ruled that Denbury needed to do more to prove it was a common carrier -- including proving it was carrying carbon dioxide for third parties -- and sent the case back to a lower court for more review.


    Keystone XL

    Subsequently, Julia Trigg Crawford, a Paris, Texas farmer, argued that the Denbury ruling prevented TransCanada Corp. (TRP)’s disputed Keystone XL oil pipeline from seizing a 50-foot right- of-way on her property. A judge determined that Keystone meets the Texas common carrier definition. Crawford is appealing that verdict.

    Michael Bishop, a 64-year-old retired chemist, is also suing TransCanada in state court to keep Keystone off his 20- acre farm near the small town of Douglass, Texas. He contends he granted the company an original easement under duress and that TransCanada misrepresented the pipeline as a crude oil project when it primarily will transport liquefied Canadian bitumen, a form of thick crude oil, to Texas refineries.

    The company denies his claims. A judge decided in January that Bishop’s bid to rescind the Keystone easement contract belonged in a different court and dismissed his case. Bishop vows to continue the litigation.

    “I’ve told those Keystone people from the beginning, ‘I don’t like your bully tactics. I just want you to leave my homestead alone,’” Bishop said.

     

    Source : www.emliindonesia.com

    Minggu, 03 Februari 2013

    Penandatangan Renegosiasi Kontrak PT Weda Bay Nickel Ditunda

    Jakarta-TAMBANG. Rencana penandatangan berita acara renegosiasi Kontrak Karya (KK) antara Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Thamrin Sihite dengan PT Weda Bay Nickel, yang akan digelar pada pagi hari ini, Senin 4 Febuari 2013 ditunda.

    Sejauh ini, belum ada keterangan resmi terkait dengan penundaan penandatangan renegosiasi KK tersebut.

    Menurut informasi yang Majalah TAMBANG terima, Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswo Utomo, akan menggelar jumpa pers terkait dengan penundaan penandatangan renegosiasi KK.

    Kegiatan penandatangan renegosiasi KK tersebut, merupakan penandatangan pertama, sejak kewajiban Renegosiasi kontrak itu didengungkan sebagai bentuk penyesuaian amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

    Adapun, beberapa hal yang direnegosiasi diantaranya, luas wilayah dan penerimaan negara, termasuk besar royalti pertambangan dan divestasi.

    PT Weda Bay Nickel sendiri dimiliki oleh PT (Persero) Aneka Tambang Tbk. (ANTAM) dengan kepemilikan saham 10% dan Strand Minerals (Indonesia) Pte. Ltd. (Strand) sebanyak 90%.

    Strand sendiri dimiliki oleh ERAMET S.A. dengan kepemilikan saham 66,6% , Mitsubishi Corporation 30% dan PAMCO 3,4%.

    Berdasarkan Kontrak Karya yang dimilikinya, PT Weda Bay Nickel merupakan perusahaan yang mengembangkan sebuah tambang nikel dan kobalt, serta proyek pengolahan hidrometalurgi kelas dunia di kepulauan Halmahera, yang berada di Provinsi Maluku Utara.

    Selain PT Weda Bay Nickel, Kementerian ESDM di 2013 mengaku akan melakukan penandatangan komitmen renegosiasi kontrak kepada 9 perusahaan tambang Minerba.

     

    Sumber : www.emliindonesia.com

    Share

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More